Sunday, December 22, 2013
Sunday, March 17, 2013
Kisah Cinta Gadis Buta
Di sebuah kota yang tenang, hidup seorang gadis cantik, namanya Risa. Gadis ini tidak bisa melihat sejak berusia enam tahun, sebuah penyakit menyebabkan kornea matanya rusak. Semenjak saat itu, hari-hari sang gadis terasa gelap. Dia tidak mau bergaul dan sekolah, dia malu karena tidak bisa melihat dunia luar. Orang tua sang gadis akhirnya menyekolahkan putri mereka di rumah. Hingga tiba masa remaja, belum ada satupun panggilan operasi untuk donor kornea. Risa tetap berharap dan berdoa agar suatu saat, dia kembali bisa melihat dunia seperti dulu. Merasakan indahnya senja dan melihat warna-warni bunga yang bermekaran di taman.
Pada suatu hari, sang gadis bertemu dengan seorang pemuda. Mereka berjumpa pertama kali di sebuah taman bunga. Jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin itulah yang dirasakan sang gadis, walaupun dia tidak bisa melihat. Sang pemuda berusia sama dengannya, pemuda baik yang mau menerima sang gadis apa adanya. Pemuda itu melihat ketulusan sekaligus duka pada sang gadis, sehingga dia ingin membahagiakan Risa dengan cintanya.
Seperti orang yang sedang dimabuk cinta, sang pemuda berkali-kali memberikan bunga mawar merah jambu, itu adalah bunga kesukaan Risa. Pemuda itu sangat romantis, dia merangkai kata-kata indah dalam bentuk puisi cinta. Dia menuliskannya dalam huruf-huruf braille. Sang pemuda juga selalu memberi semangat pada Risa, suatu saat dia pasti bisa melihat lagi, pemuda itu berjanji.
Beberapa bulan berlalu, kabar dari rumah sakit tiba. Risa bisa segera melakukan operasi kornea karena ada donor yang menyerahkan korneanya. Gadis cantik itu langsung bersorak gembira. Selain bisa melihat dunia seperti dulu, dia sangat ingin melihat wajah kekasihnya. Sehingga Risa mempersiapkan operasinya dengan baik dan memasrahkan hasilnya yang terbaik pada Tuhan.
Operasi itu berhasil, Risa harus beradaptasi dengan cahaya selama beberapa minggu sampai dia diperbolehkan berjalan-jalan seorang diri. Sejak masa operasi dan pemulihan, Risa belum berjumpa dengan sang pemuda. Rasa rindu memuncak dan mereka berjanji untuk bertemu di sebuah cafe romantis yang sangat nyaman.
Saat bertemu dengan sang pemuda, Risa mengalami kekecewaan. Ternyata pemuda itu buta, sama seperti dirinya sebelum operasi. Gadis cantik itu langsung mempertimbangkan masa depannya jika terus berhubungan dengan sang pemuda. Bagaimana dia bisa hidup dengan laki-laki yang buta, sedangkan hidup memerlukan banyak uang. Risa pernah buta, dan dia merasa kesempatannya untuk berkarya dan menghasilkan uang lebih sempit. Akhirnya Risa memutuskan hubungan dengan sang pemuda.
Beberapa hari kemudian, Risa menerima sebuah surat yang bertuliskan huruf braille. Walaupun sudah bisa melihat, Risa masih bisa membaca huruf braille. Gadis itu memejamkan matanya agar sentuhan raba pada tangannya lebih sensitif membaca surat bertuliskan huruf braille tersebut.
Tetesan air mata jatuh di atas kertas surat. Selama ini Risa tidak pernah tahu siapa yang mendonorkan kornea mata untuknya, pihak rumah sakit merahasiakannya. Sekarang dia tahu siapa orang yang sudah merelakan penglihatan itu untuknya.
Ada penyesalan teramat dalam karena Risa sudah memutuskan hubungan dengan pria yang mau mengorbankan tubuh untuknya.
sumber : vemale.com
»» read more
Pada suatu hari, sang gadis bertemu dengan seorang pemuda. Mereka berjumpa pertama kali di sebuah taman bunga. Jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin itulah yang dirasakan sang gadis, walaupun dia tidak bisa melihat. Sang pemuda berusia sama dengannya, pemuda baik yang mau menerima sang gadis apa adanya. Pemuda itu melihat ketulusan sekaligus duka pada sang gadis, sehingga dia ingin membahagiakan Risa dengan cintanya.
Seperti orang yang sedang dimabuk cinta, sang pemuda berkali-kali memberikan bunga mawar merah jambu, itu adalah bunga kesukaan Risa. Pemuda itu sangat romantis, dia merangkai kata-kata indah dalam bentuk puisi cinta. Dia menuliskannya dalam huruf-huruf braille. Sang pemuda juga selalu memberi semangat pada Risa, suatu saat dia pasti bisa melihat lagi, pemuda itu berjanji.
Beberapa bulan berlalu, kabar dari rumah sakit tiba. Risa bisa segera melakukan operasi kornea karena ada donor yang menyerahkan korneanya. Gadis cantik itu langsung bersorak gembira. Selain bisa melihat dunia seperti dulu, dia sangat ingin melihat wajah kekasihnya. Sehingga Risa mempersiapkan operasinya dengan baik dan memasrahkan hasilnya yang terbaik pada Tuhan.
Operasi itu berhasil, Risa harus beradaptasi dengan cahaya selama beberapa minggu sampai dia diperbolehkan berjalan-jalan seorang diri. Sejak masa operasi dan pemulihan, Risa belum berjumpa dengan sang pemuda. Rasa rindu memuncak dan mereka berjanji untuk bertemu di sebuah cafe romantis yang sangat nyaman.
Saat bertemu dengan sang pemuda, Risa mengalami kekecewaan. Ternyata pemuda itu buta, sama seperti dirinya sebelum operasi. Gadis cantik itu langsung mempertimbangkan masa depannya jika terus berhubungan dengan sang pemuda. Bagaimana dia bisa hidup dengan laki-laki yang buta, sedangkan hidup memerlukan banyak uang. Risa pernah buta, dan dia merasa kesempatannya untuk berkarya dan menghasilkan uang lebih sempit. Akhirnya Risa memutuskan hubungan dengan sang pemuda.
Beberapa hari kemudian, Risa menerima sebuah surat yang bertuliskan huruf braille. Walaupun sudah bisa melihat, Risa masih bisa membaca huruf braille. Gadis itu memejamkan matanya agar sentuhan raba pada tangannya lebih sensitif membaca surat bertuliskan huruf braille tersebut.
Risa kekasihku, maaf jika aku lancang menuliskan surat ini padamu.
Aku tahu, saat ini kita sudah bukan sepasang kekasih, tetapi cintaku masih utuh hanya untukmu. Seperti yang sudah pernah aku katakan dahulu, kamu pasti bisa melihat dunia, senja dan bunga mawar merah jambu kesukaanmu.
Saat kamu membaca surat ini, aku pasti sudah berada di London untuk meneruskan cita-citaku menjadi guru. Aku lebih bisa diterima di negara ini, jadi aku akan menetap selamanya di sini dan mungkin tidak akan bertemu denganmu kembali.
Rasa cinta membuatku tidak bisa membencimu, Risa..
Satu hal yang ingin aku sampaikan, tolong jaga hadiah yang sudah aku berikan padamu. Aku tulus memberikan kornea mataku untukmu.
Jangan menangis, aku tahu kamu gadis yang kuat. Aku belajar banyak darimu Risa, aku juga akan berusaha sekuat dirimu.
Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu.
Aku tahu, saat ini kita sudah bukan sepasang kekasih, tetapi cintaku masih utuh hanya untukmu. Seperti yang sudah pernah aku katakan dahulu, kamu pasti bisa melihat dunia, senja dan bunga mawar merah jambu kesukaanmu.
Saat kamu membaca surat ini, aku pasti sudah berada di London untuk meneruskan cita-citaku menjadi guru. Aku lebih bisa diterima di negara ini, jadi aku akan menetap selamanya di sini dan mungkin tidak akan bertemu denganmu kembali.
Rasa cinta membuatku tidak bisa membencimu, Risa..
Satu hal yang ingin aku sampaikan, tolong jaga hadiah yang sudah aku berikan padamu. Aku tulus memberikan kornea mataku untukmu.
Jangan menangis, aku tahu kamu gadis yang kuat. Aku belajar banyak darimu Risa, aku juga akan berusaha sekuat dirimu.
Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu.
Tetesan air mata jatuh di atas kertas surat. Selama ini Risa tidak pernah tahu siapa yang mendonorkan kornea mata untuknya, pihak rumah sakit merahasiakannya. Sekarang dia tahu siapa orang yang sudah merelakan penglihatan itu untuknya.
Ada penyesalan teramat dalam karena Risa sudah memutuskan hubungan dengan pria yang mau mengorbankan tubuh untuknya.
sumber : vemale.com
Sunday, September 23, 2012
Robot Detektor Kebohongan
Maman adalah seorang genius, profesor pintar yang berhasil menciptakan sebuah robot canggih, yang memiliki kemampuan mendeteksi kebohongan apapun yang dikatakan oleh manusia. Si Robot akan menampar siapapun yang mengucapkan kebohongan. Dengan bangga, Maman membawa robot itu kerumah untuk dipamerkan pada anak dan istrinya. Maman menunggu anaknya pulang untuk memperlihatkan hasil karyanya yang tercanggih itu. Tetapi, anaknya tak kunjung pulang. Setelah sekian lama, baru sore hari lah si anak pulang.
"Asep, kamu dari mana? kok jam segini baru pulang” tanya si Maman
"Ada pelajaran tambahan pap" jawab Asep, sang anak.
*PLAK!!!* Sang Robot menampar si anak dengan keras.
"Asep, ini adalah robot ciptaan papap, dia akan menampar siapapun yang berbohong! Sekarang katakan dengan jujur, kenapa kamu pulang telat ??!"
"Maaf pap.... aku habis menonton film di rumah teman"
"Film apa?" "Film Komedi pap"
*PLAK!!!* "Ayo katakan dengan jujur film apa ??"
“Maaf pap… saya menonton film porno", jawab Asep sang anak sambil menunduk.
Mendengar jawaban Asep, Maman seketika marah. Matanya melotot. Sambil menunjuk-nunjuk, Maman berkata :
"Kamu ini yah... Kecil-kecil udah punya kelakuan kayak gitu? Kalo besar itu kamu mau jadi apa???! Kurang ajar kamu ya… bikin malu papap ajah." "Perbuatan yang benar-benar memalukan!!! papap waktu seumuran kamu gak pernah senakal kamu tau !!!"
*PLAK* Maman sang profesor di tampar keras oleh si Robot. Seketika, suasana rumah hening beberapa saat. Istri Maman, yang sedari tadi mendengarkan kejadian tersebut keluar kamar dan langsung berkata :
"Abang ini gimana sih??? Sama saja kelakuannya kayak anaknya! Buah Apel gak pernah jatuh jauh dari pohonnya kan? Inget Bang, bagaimanapun, Asep itu anak Abang, jadi...."
*PLAK* Si robot menampar istri Maman sebelum dia sempat menyelesaikan kata-katanya Dan, seketika suasana rumah hening.... heninggggggggggg begitu lama.
Sumber artikel ini adalah : http://www.poztmo.com.
»» read more
"Asep, kamu dari mana? kok jam segini baru pulang” tanya si Maman
"Ada pelajaran tambahan pap" jawab Asep, sang anak.
*PLAK!!!* Sang Robot menampar si anak dengan keras.
"Asep, ini adalah robot ciptaan papap, dia akan menampar siapapun yang berbohong! Sekarang katakan dengan jujur, kenapa kamu pulang telat ??!"
"Maaf pap.... aku habis menonton film di rumah teman"
"Film apa?" "Film Komedi pap"
*PLAK!!!* "Ayo katakan dengan jujur film apa ??"
“Maaf pap… saya menonton film porno", jawab Asep sang anak sambil menunduk.
Mendengar jawaban Asep, Maman seketika marah. Matanya melotot. Sambil menunjuk-nunjuk, Maman berkata :
"Kamu ini yah... Kecil-kecil udah punya kelakuan kayak gitu? Kalo besar itu kamu mau jadi apa???! Kurang ajar kamu ya… bikin malu papap ajah." "Perbuatan yang benar-benar memalukan!!! papap waktu seumuran kamu gak pernah senakal kamu tau !!!"
*PLAK* Maman sang profesor di tampar keras oleh si Robot. Seketika, suasana rumah hening beberapa saat. Istri Maman, yang sedari tadi mendengarkan kejadian tersebut keluar kamar dan langsung berkata :
"Abang ini gimana sih??? Sama saja kelakuannya kayak anaknya! Buah Apel gak pernah jatuh jauh dari pohonnya kan? Inget Bang, bagaimanapun, Asep itu anak Abang, jadi...."
*PLAK* Si robot menampar istri Maman sebelum dia sempat menyelesaikan kata-katanya Dan, seketika suasana rumah hening.... heninggggggggggg begitu lama.
Sumber artikel ini adalah : http://www.poztmo.com.
Cerita Mengharukan (kisah seorang kakak dan adik)
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. ” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
»» read more
Subscribe to:
Posts (Atom)